PentingnyaKeikhlasan dalam Menuntut Ilmu. · Rab 5 Muharram 1444H. Oleh Adam Jogja dan Muh. Naufal Jember, Takmili. Ikhlas merupakan syarat diterimanya ibadah, termasuk dalam menuntut ilmu. Yang mana, menuntut ilmu syar'i adalah jihad yang paling utama di zaman ini. Tapi, seberapa pentingnya ikhlas dalam menuntut ilmu?
MENELADANI sahabat Nabi dalam menuntut ilmu. Seperti diketahui, kita mengenal bahwa sahabat Nabi adalah orang-orang yang memiliki ilmu luar biasa. Baca Juga Mengenal Sahabat Nabi, Abdullah bin Mas&8217;ud yang Akhlaknya Paling Mirip dengan Rasulullah Namun, ilmu-ilmu yang didapatkan tidaklah diraih secara instan. Perlu semangat, kerja keras, dan semacamnya. Selain itu, mereka juga serius untuk memahami suatu ilmu. Kita pasti sering mendengar banyak kisah perjuangan-perjuangan sahabat untuk belajar sebuah ilmu. Ada yang harus rela bepergian jauh untuk menuntut ilmu, dan berbagai perjuangan lainnya. Kemudian, para sahabat juga sangat berhati-hati ketika menerima sebuah ilmu. Oleh sebab itu, ketika mereka ingin mengetahui suatu hal, para sahabat bertanya langsung kepada sumber yang terpercaya, yaitu Rasulullah. Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah berkata, ومن تدبر أحوال الصحابة وجد أنهم أحرص الناس على العلم وأنهم لا يتركون شيئا يحتاجون إليه في أمور دينهم ودنياهم إلا ابتدروه والله الموفق. “Barang siapa yang memperhatikan keadaan sahabat Nabi shallallahu alaihi wa sallam, niscaya dia akan mendapati bahwa mereka adalah manusia yang paling bersemangat dalam hal ilmu. Tidaklah mereka meninggalkan sedikit pun perkara yang mereka butuhkan dalam urusan agama dan dunia melainkan mereka bersegera menanyakannya, wallahul-muwaffiq.” Sumber Syarh Riyadh al-Shalihin, Jilid 1, hlm. 263. Alih Bahasa Abu Fudhail Abdurahman Ibnu Umar غفر الرحمن له.

Semuameriwayatkan kisah ini melalui jalan Hammam bin Yahya, dari al-Qasim bin Abdul Wahid al-Makki, dari Abdullah bin Muhammad bin Aqil, dari Jabir bin Abdillah radhiallahu 'anhu. Ibnu 'Aqil seorang yang hasan haditsnya. Al-Qasim bin Abdul Wahid dihukumi tsiqah hanya oleh Ibnu Hibban. Sementara itu, Abu Hatim ar-Razi mengatakan tentangnya

Menuntut ilmu adalah salah satu aktivitas kehidupan yang dianjurkan oleh syariat dengan anjuran yang tegas. Sebagai bukti ketegasannya, umat manusia diperintahkan menuntut ilmu tanpa batasan dimensi waktu dan tempat. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda “Tuntutlah ilmu semenjak kamu terbaring di ayunan sampai beristirahat panjang di liang kuburan”. Dalam hadits lain Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Tuntutlah ilmu walau sampai ke negeri China”. Dua hadits Nabi di atas secara tersirat menggambarkan akan begitu pentingnya aktivitas menuntut ilmu itu. Hadits pertama memberi pemahaman bahwa tiada batasan waktu dalam menuntut ilmu. Atau dengan istilah lain tiada kata terlambat untuk mendapatkan ilmu Allah yang membahari itu. Sementara hadits kedua menekankan pemahaman tentang dimensi tempat, artinya aktivitas menuntut ilmu sama sekali tak terbatas oleh dimensi tempat. Rasulullah shallahu alaihi wa sallam bersabda demikian saat beliau berada di kota Madinah yang saat itu. Sebab, di tempat itulah Islam tumbuh dan berkembang. Kendati demikian, saat memerintahkan umatnya menuntut ilmu Rasulullah shallahu alaihi wa sallam masih menyebutkan negeri China. Mengapa? Untuk menegaskan bahwa mencari ilmu walau sejauh apa pun—bahkan sampai ke China—tetap harus dilakukan. Namun, menuntut ilmu tidaklah sama dengan mencari kayu bakar di hutan yang hanya tinggal mengumpulkan dan membawanya pulang. Pencari kayu bakar memiliki kebebasan untuk keluar-masuk hutan kapan saja dan mengumpulkan kayu apa saja dan sebanyak mungkin. Akan tetapi seorang penuntut ilmu memiliki tata cara dan aturan dalam mencari ilmu yang dikenal dengan adãb al-muta’allim. Al-Imam Fakhruddin ar-Razi, yang hidup di abad kelima hijriah, dalam kitabnya Tafsir al-Fakhru ar-Razi atau yang lumrah dikenal dengan Mafãtîh al-Ghaib, memiliki kajian yang sangat mendalam dan menakjubkan saat menafsirkan surah al-Kahfi ayat 66 yang menceritakan bagaimana Nabi Musa sebelum berguru kepada Nabi Khidir alaihima as-salam. Dari firman Allah subhanahu wa ta’ala yang berbunyi قَالَ لَهُ مُوسَىٰ هَلْ أَتَّبِعُكَ عَلَىٰ أَنْ تُعَلِّمَنِ مِمَّا عُلِّمْتَ رُشْدًا Artinya Musa berkata kepadanya Khidir, “Bolehkah aku mengikutimu agar engkau mengajarkan kepadaku ilmu yang benar yang telah diajarkan kepadamu sebagai petunjuk?” Baca juga Al-Imam Fakhruddin ar-Razi berhasil memunculkan dua belas adab atau tata karma dalam menuntut ilmu. Namun dalam tulisan ini ada tiga poin adab yang disatukan pembahasannya dengan poin adab yang lain. Sehingga yang tercantum dalam tulisan ini hanya sembilan adab. Di antaranya adalah 1. Mengabdi dan bersikap tawadhu’ rendah hati terhadap guru Dari kisah Nabi Musa yaitu saat menyampaikan maksud bahwa beliau hendak ikut kepada Nabi Khidir dengan kalimat هل أتّبعك bolehkah aku mengikutimu memberikan sebuah teladan baik sebagai bentuk adab kepada seorang guru. Artinya seharusnya seorang murid sebelum menimba ilmu dari gurunya agar meminta izin terlebih dahulu dengan cara mengikrarkan kesediaannya untuk ikut dan mengabdi terhadap sang guru. Dan itu adalah sebentuk ketawadukan atau sikap rendah hati yang begitu agung dari seorang murid. Dan melalui kalimat أتّبعك ar-Razi memunculkan satu kesimpulan bahwa dalam menuntut ilmu seorang murid harus ikut kepada gurunya secara kafah, tanpa syarat dan ketentuan apa pun. Terbukti saat prosesi permintaan izin untuk ikut dengan Nabi Khidir, Nabi Musa tidak menyertakan syarat apa pun. 2. Menyatakan diri sebagai murid yang tak tahu apa-apa Dalam menuntut ilmu seorang murid dilarang keras untuk menyanjung dirinya, bersikap angkuh, atau menampakkan kepintarannya di hadapan sang guru guna menunjukkan bahwa dirinya telah menguasai satu atau beberapa bidang keilmuan tertentu. Melainkan sebagai bentuk akhlak mulia dalam menuntut ilmu, seorang murid harusnya menampakkan bahwa ilmu yang dimilikinya sangatlah dangkal dan tak dalam, sekaligus memuji sang guru sebagai seorang cendekiawan dengan wawasan yang tinggi. Sehingga menjadi suatu pendorong kuat untuk memperoleh bimbingan intelektual dari sang guru yang wawasan intelektualnya membahari itu. 3. Ketidakbolehan memiliki banyak permintaan kepada guru Termasuk adab menuntut ilmu, seorang murid tak ubahnya bagai orang fakir yang mengemis meminta harta kepada seorang yang kaya raya. Artinya seorang pengemis tidak mungkin meminta seluruh harta atau separuh dari harta yang dimiliki oleh orang kaya tersebut. Melainkan ia hanya meminta nol koma sekian persen saja dari persentase seluruh harta si kaya. Begitu juga seorang murid kepada gurunya. Sang murid tidak diperkenankan untuk meminta banyak dari ilmu sang guru. Pendek kata, sebagai murid yang berakhlak mulia seharusnya agar tidak meminta kepada sang guru dalam hal keilmuan untuk dijadikan sealim gurunya atau bahkan melebihi kealiman sang guru. Tentu menyalahi tata karma ketika si pengemis meminta harta berlimpah kepada seseorang agar memiliki kekayaan yang sama dengan orang yang dimintai itu. Kendatipun demikian, sebagai guru yang baik dan profesional, pasti memiliki cita-cita yang luhur untuk para anak didiknya. Yaitu bagaimana setiap anak didiknya mampu melebihi keilmuan dirinya. 4. Mengakui bahwa semua ilmu datangnya dari Allah Adab selanjutnya adalah bertitik fokus pada pemantapan hati seorang murid bahwa dalam menuntut ilmu sang murid harus meyakini sepenuhnya bahwa seluruh ilmu datangnya dari Allah subhanhu wa ta’ala. Bahkan termasuk ilmu yang dimiliki oleh gurunya. Hal ini al-Imam Fakhruddin ar-Razi mengkajinya melalui kalimat مما علّمت sebagian dari ilmu yang diajarkan kepadamu. Jadi dalam konteks ini, Nabi Musa meminta kepada Nabi Khidir agar beliau berkenan mengajarkan sebagian ilmu yang diajarkan Allah kepadanya. Adab semacam ini lebih membuka terhadap kasih sayang seorang guru kepada muridnya. Sehingga ia berkenan untuk mengajarkan dan membimbing sang murid tersebut. 5. Meminta petunjuk dan bimbingan dari guru Sebagaimana telah maklum bersama bahwa tujuan agung dari belajar dan menuntut ilmu adalah menjaga diri secara khusus dan umat manusia pada umumnya agar tidak terperosok ke dalam lubang kesesatan dan kehancuran. Akan tetapi, hanya dengan ilmu, seseorang tidak akan mampu mengubah ajakan kesesatan itu menjadi spirit kebaikan kecuali dengan petunjuk dan bimbingan dari seorang guru. Itulah hikmah dari Firman Allah subhanahu wa ta’ala ممّا علّمت رشدا. Jadi dalam penggalan ayat tersebut terdapat kalimat علّمت yang merepresentasikan makna ilmu’ yang disandingkan dengan kata الرشد petunjuk. Dapat disimpulkan bahwa termasuk adab mulia dalam menuntut ilmu yaitu seorang murid tidak hanya meminta ilmu kepada gurunya melainkan juga memohon petunjuk, nasihat dan arahan ke jalan yang benar. Sehingga tujuan pensyariatan menuntut ilmu tersebut tercapai. Karena banyak umat manusia terjerumus ke jalan yang salah bukan karena tidak tahu bahwa itu salah. Tetapi karena tidak ada yang memberi nasihat dan dorongan agar tidak meniti titian kesesatan tersebut. 6. Ketidakbolehan menentang dan membantah apa yang dilakukan guru Telah dijelaskan pada poin sebelumnya bahwa mengabdi adalah salah satu cara merealisasikan adab saat menuntut ilmu, yang dimana dalam mengabdi kepada guru ada beberapa hal fundamental yang sekaligus juga menjadi tata krama dalam menuntut ilmu. Salah satunya adalah taslim menyerahkan diri sepenuhnya kepada sang guru. Hal semacam ini telah menjadi tradisi di pesantren-pesantren salaf di Indonesia. Dalam hal pernikahan misalnya, baik santriwan maupun santriwati yang telah taslim kepada seorang kiai atau pengasuh sebuah pesantren, tidak perlu sibuk mencari pasangan hidupnya. Karena mereka menunggu keputusan sang kiai tentang kapan dan dengan siapa mereka akan dinikahkan. Pola pikir yang digunakan sangatlah sederhana, karena wali santri atau orang tua dari santri yang bersangkutan telah memasrahkan putra-putrinya dengan cara menyerahkannya kepada sang kiai, maka dengan begitu, sampai dalam hal pernikahan pun juga menunggu keputusan sang kiai. Ketidakbolehan menentang dan membantah pilihan sang kiai adalah termasuk akhlak mulia dalam menuntut ilmu, sampai dalam hal penentuan jodoh sekalipun. 7. Mencari ilmu pengetahuan tanpa perhitungkan status sosial Termasuk pelajaran yang dapat kita petik dari kisah perjalanan nyantri-nya Nabi Musa kepada Nabi Khidir ialah bahwa menuntut ilmu tidak boleh memperhitungkan status sosial. Dalam hal ini kata mutiara “أنظر ما قال ولا تنظر من قال” perhatikanlah apa yang dikatakan dan jangan perhatikan siapa yang mengatakan yang dituturkan oleh bab al-ilmi sayidina Ali karramallahu wajhah adalah yang paling tepat untuk mengungkapkan substansi dari pembahasan dalam poin ini. Nabi Musa 'alaihissalam dalam perjalanan nyantri-nya tidak pernah sedikit pun mempermasalahkan status sosial beliau sebagai nabi kaum Bani Israil. Beliau tetap menjunjung tinggi akhlak dan ketawadukan beliau kepada sang guru. Begitu juga gurunya, Nabi Khidir 'alaihissalam. Sang guru bukannya tidak tahu bahwa yang datang menemui beliau dan memintanya menjadi guru adalah seorang nabi Bani Israil, sang Kalîmullah, melainkan karena sang guru paham bahwa kebenaran tidak mesti diberikan kepada orang dengan status sosial yang tinggi, akan tetapi kebenaran dianugerahkan kepada siapa saja yang Allah kehendaki. 8. Mondok untuk mengabdi dan kemudian mengaji Kajian al-Imam Fakhruddin ar-Razi selanjutnya adalah soal manajemen waktu. Seorang thâlib al-ilmi pencari ilmu tatkala berguru, sebaiknya pertama kali yang ia lakukan adalah mengabdi kepada sang guru, baru kemudian mengaji dan menimba ilmu dari gurunya. Hal ini kerap diistilahkan dengan الخدمة قبل العلم mengabdi sebelum mengaji. Kajian ini disimpulkan ar-Razi dari penggalan ayat هل أتّبعك على أن تعلّمني apakah aku boleh mengikutimu agar engkau dapat mengajarkanku... Dalam penggalan ayat tersebut penyebutan أتّبعك yang menjadi representasi dari makna mengabdi’ disebutkan lebih dahulu dari pada kalimat أن تعلّمني yang merepresentasikan makna mengaji’. Sehingga disimpulkan oleh ar-Razi bahwa termasuk adab menuntut ilmu adalah mendahulukan pengabdian terhadap sang guru sebelum mengaji dan menimba ilmu darinya. 9. Belajar harus untuk ilmu bukan yang lain Adab menuntut ilmu yang terakhir adalah berkenaan dengan niat dan tujuan menuntut ilmu. Sebagai penuntut ilmu harus mampu memperbaiki niat dan tujuan dalam menuntut ilmu. Berkaitan dengan hal ini Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda; إنما الأعمال بالنيات، وإنما لكل امرئ ما نوى، فمن كانت هجرته إلى الله ورسوله، فهجرته إلى الله ورسوله، ومن كانت هجرته لدنيا يصيبها أو امرأة ينكحها، فهجرته إلى ما هاجر إليه Artinya "Seluruh amal perbuatan itu tergantung pada niatnya dan setiap orang hanya akan memperoleh ganjaran dari apa yang diniatkannya. Oleh karena itu, barangsiapa hijrahnya menuju keridhaan Allah dan rasul-Nya, maka hijrahnya itu menuju keridhaan Allah dan rasul-Nya. Barangsiapa hijrahnya karena harta atau kemegahan dunia yang dia harapkan, atau karena seorang wanita yang ingin dinikahinya, maka hijrahnya itu ke arah yang ditujunya. HR. Bukhari-Muslim. Nasihat terbaik ar-Razi kepada para penuntut ilmu yang tersirat dalam Mafatih al-Ghaib-nya yaitu agar jangan sampai aktivitas mulianya ternodai dengan niat dan tujuannya sendiri. Menuntut ilmu jangan sekali-kali diniatkan sebagai ladang mencari harta dan tahta di masa mendatang. Wallahu a’lam. Ahmad Dirgahayu Hidayat, Mahassantri Ma’had Aly Salafiyah Syafi’iyah Situbondo Jawa Timur; Mahasiswa Universitas Ibrahimy Sukorejo Situbondo Barang siapa yang memperhatikan keadaan sahabat Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, niscaya dia akan mendapati bahwa mereka adalah manusia yang paling bersemangat dalam hal ilmu. Tidaklah mereka meninggalkan sedikit pun perkara yang mereka butuhkan dalam urusan agama dan dunia melainkan mereka bersegera menanyakannya, wallahul-muwaffiq." Sumber:

Kalimat tauhid adalah dasar agama dan asas segala kesempurnaan. Tanpa tauhid, seluruh amalan akan tertolak. Oleh sebab itu, terutama pada masa permulaan islam, para sahabat Rasulullah lebih banyak bersungguh-sungguh dalam mendakwahkan kalimat tauhid dan sibuk berjihad melawan orang kafir, sehingga mereka belum sempat mencurahkan perhatian khusus terhadap ilmu. Walaupun demikian, semangat, gairah, serta kesungguhan mereka telah menghasilkan inti-inti ilmu Al-Qur’an dan Hadits, yang masih terpelihara walaupun 1400 tahun berlalu. Ini merupakan bukti yang jelas, setelah zaman permulaan Islam berlalu, ketika datang kemudahan bagi mereka, dan jamaah-jamaah yang berdakwah semakin bertambah, maka turunlah ayat yang artinya “tidak sepatutnya bagi mukminin itu pergi semuanya ke medan perang. mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya” QS At-Taubah 122 Abdullah bin Abbas berkata bahwa dalam QS At-Taubah 39 “ jika kamu tidak berangkat untuk berperang, niscaya Allah menyiksa kamu dengan siksa yang pedih dan digantinya kamu dengan kaum yang lain, dan kamu tidak akan dapat memberi kemudharatan kepada-Nya sedikitpun. Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu” Telah diketahui dari ayat diatas, bahwa Allah mengaruniakan kepada para sahabat rasulullah bahwa kesatuan jamaah saat itu sangat penting. Selain itu, ada satu jamaah kecil yang mempelajari seluruh ajaran agama. Pada zaman tabi’in, islam telah tersebar luas dan menjadi sebuah jamaah besar dan merupakan kesatuan yang kokoh. Karena pada diri tabi’in, tidak terdapat kesatuan seperti pada diri sahabat, maka Allah telah menghidupkan orang-orang yang khusus mempelajari bidang agama. Maka muncullah muhadditsin, yaitu jamaah khusus yang menyusun hadits-hadits dan menyebarkannya. Lalu para fuqaha, yakni ahli fikih, ahli sufi, dan ahli Al-Qur’an dan para mujahidin. Singkatnya, disetiap bidang Allah telah mewujudakan para ahli yang memeliharanya. Hal itu sangat sesuai dan penting pada masa itu. jika tidak, maka sangat sulit untuk mencapai kemajuan dan kesempurnaan dibidang agama karena sangat sulit bagi seseorang mencapai kesempurnaan dan kemuliaan dalam segala hal. Allah hanya mengaruniakan kesempurnaan tersebut hanya pada Nabi khususnya pada Rasulullah. Dalam kaitan ini, juga terdapat kisah sahabat dan tokoh-tokoh lainnya. 1. Kisah Para Sahabat Rasulullah Ahli Fatwa Walaupun para sahabat sibuk berjihad demi menegakkan kalimatullah, semangat mereka dalam menuntut ilmu selalu ada. Setiap kali mereka mendapat suatu kebaikan, mereka akan segera menyebarkannya. Demikianlah kesibukan mereka setiap saat. Namun diantara mereka ada jamaah khusus yang berfatwa ketika Rasulullah masih hidup, diantaranya adalah Abu Bakar, Umar, Ustman, Ali bin Abi Thalib, Abdurrahman bin Auf, Abdullah bin Mas’ud, Ubay bin Ka’ab, Ammar bin Yasir, Salman Al Farisi, Zaid bin Tsabit, Hudzaifah, Abu Musa, Adu Darda’ radhiyallahu anhum. Talqih Faedah Mereka Telah mencapai kesempurnaan ilmu sehingga diizinkan berfatwa ketika Rasulullah sallahu a’laihi wasallam masih hidup. 2. Kisah Abu Bakar Membakar Kumpulan Hadits Aisyah berkata “ayahku, Abu Bakar memiliki catatan berisi 500 hadits yang dikumpulkan. Pada suatu malam, aku melihatnya sangat gelisah dan berbaringmembolak-balikkan badannya. Aku bertanya “apakah engkau sakit, atau ada seuatu hal yang membebanimu pikiranmu ?” namun pada malam itu, ia tetap gelisah dan cemas. Keesokan harinya, ia bertanya padaku, “dimanakah catatan hadits ku yang pernah kuberikan padamu ?” aku pun mengambilnya dan memberikan padanya. Ternyata beliau membakar catatan itu. aku bertanya “mengapa dibakar?” ia menjawab “aku ragu jika ada kekhilafan lalu aku meninggal, sedangkan catatan ini masih ada padaku. Jika sampai ketangan orang lain, lalu mereka menganggapnya muktabar dipercaya, padahal tidak dan ternyata dalam catatan ini ada kesalahan, tentu itu akan mencelakakanku. Tadzkiratul Huffadz Faedah Walaupun Abu Bakar memiliki kedalamn dan semangat ilmu yang tinggi sehingga dapat mengumpulkan 500 hadits dalam catatannya, ia membakarnya karena kehati-hatiannya yang sempurna. Hal ini terjadi pula pada sahabat-sahabat yang lain, mereka sangat hati-hati dengan hadits Rasulullah. Oleh karena itu, sebagian besar sahabat rasulullah hanya meriwayatkan sedikit hadits. Ini pula yang menyebabkan mengapa Imam Abu Hunaifah sangat sedikit meriwayatkan hadits. 3. Kisah Abdullah bin Abbas dalam Menuntut Ilmu Abdullah bin Abbas bercerita “setelah wafat rasulullah, aku berkata kepada seorang Anshar, Nabi telah meninggalkan kita, tetapi sahabat masih banyak yang hidup diantara kita. Mari kita temui mereka untuk bertanya dan menghafalkan kembali urusan agama.” Namun sahabat Anshar tidak bersedia atas ajakan Abdullah bin Abbas. Lalu Abdullah bin Abbas berkata “dan kebanyakn ilmu yang aku dapatkan adalah darikaum Anshar, dan aku akan menjumpai beberapa orang sahabt dan menanyakannya. Jika ku dengar mereka sedang tidur di rumahnya maka, aku akan menghamparkan kain untuk duduk sambl menunggu di depan rumahnya, sehingga muka ku penuh dengan debu, dan tubuhku sangat kotor. Setelah ia bangun, aku bertanya kepadanya mengenai masalah yang terjadi dan mengenai maksud kedatanganku.” Namun sebagian besar berkata “Engkau adalah keponakan Rasulullah, mengapa engkau menyusahkan diri untuk datang kemari, mengapa engkau tidak memanggilku ?” Jawabku “Aku sedang menuntut ilmu, jadi akulah yang wajib mendatangimu.” Faedah Dari cerita diatas, selain dapat diketahui tentang ketawajuhan dan kerendahan hati Ibnu Abbas terhadap gurunya, juga dapat diketahui akan ketinggian semangat serta perhatiannya terhadap ilmu. Apabila ia, mendengar hadits yang tersimpan pada seseorang, ia akan langsung mendatanginya dan mempelajarinya, walaupun harus berusaha keras dan bersusah payah. Tanpa usaha dan susah payah, sesuatu yang sepele tidak akan didapat, apalagi ilmu yang tidak ternilai harganya. “Barang siapa mencari derajat ketinggian Hendaklah ia berjaga pada waktu malam..”

Jikamenemukan faidah (ilmu) baru beliau tulis dalam kertas tersendiri hingga terkumpul suatu pokok bahasan tertentu. Bersama Ilmu hingga Menjelang Ajal Abu Zur'ah ar-Raziy ketika menjelang ajal dijenguk oleh sahabat-sahabatnya ahluk hadits. Mereka mengisyaratkan hadits tentang talqin Laa Ilaha Illallah. Hingga Abu Zur'ah berkata, Sejenak Menengok Kisah Salaf Abu Hurairah radhiyallahu anhu dalam menimba ilmu, bukan main sabarnya!! Menahan lapar hingga pingsan demi mendengar ilmu langsung dari sumbernya. Dalam salah satu kesempatan, Muhammad bin Sirin rahimahullah, salah seorang murid Abu Hurairah berkisah, “Suatu ketika kami sedang berada di sisi Abu Hurairah radhiallahu anhu, ketika itu beliau mengenakan dua pakaian yang dicelupkan dalam lumpur merupakan pakaian bagus pada zaman dahulu berbahan kattan kain linen putih –pent.. Lalu beliau menyeka ingus dengan kain tersebut seraya berkata, Bakh, bakh kata takjub terhadap dirinya, Abu Hurairah mengelap ingus dengan kain dari kattan? Sungguh dulu aku pernah pingsan di antara mimbar Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dan kamar Aisyah, tiba-tiba datang seseorang menginjak leherku, dia menyangka bahwa aku adalah orang gila. Padahal aku tidaklah gila, namun aku sedang tertimpa kelaparan.” HR. Bukhari no. 7324 Lihatlah perjuangan sahabat Nabi yang satu ini, sabarnya menahan lapar di masjid Nabi hingga pingsan tak sadarkan diri‼ Tak lain semua itu beliau lakukan demi ilmu. Beliau tak tergiurkan dengan gemerlapnya dunia di luar sana! Baik perdagangan, pertanian, peternakan, atau pun urusan dunia lainnya. Kisah lain dari sahabat Jabir bin Abdillah, beliau melakukan perjalanan menuju rumah Abdullah bin Maisarah radhiallahu anhu selama satu bulan lamanya demi satu hadis yang belum beliau dengar dari Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. Faedah Berharga dari Dua Kisah Di Atas Dua kisah ini menunjukkan semangat juang mereka dalam thalabul ilmi, menahan lapar, panas, godaan dunia, dan kesusahan-kesusahan lainnya. Dengan itu, mereka menjadi para pemimpin yang membimbing umat di atas agama Allah, sebagaiaman Allah katakan di dalam Kitab-Nya, وَجَعَلْنَا مِنْهُمْ أَئِمَّةً يَهْدُونَ بِأَمْرِنَا لَمَّا صَبَرُوا وَكَانُوا بِآيَاتِنَا يُوقِنُونَ “Dan Kami jadikan di antara mereka itu pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami ketika mereka sabar. Dan mereka meyakini ayat-ayat Kami.” QS. As-Sajdah 24 Maka wahai para pejuang ilmu! Ini adalah contoh nyata dari para salaf. Di sana masih banyak kisah perjuangan mereka yang jumlahnya puluhan bahkan ratusan atau mungkin ribuan, tentang mereka yang berjuang dan sabar dalam menuntut ilmu agama Allah ini. Artikel Kami Keteladanan al-Imam at-Tirmidzi dalam Menuntut Ilmu Mencoba Introspeksi Diri Di saat kita membaca kisah perjuangan mereka, mari bandingkan dengan diri-diri kita, niscaya kita akan malu. Sangat sedikit ilmu yang kita dapat, sangat sedikit ilmu yang kita pelajari, sangat kurang semangat juang kita dalam menuntut ilmu. Dari sini kita akan berusaha mengintrospeksi diri untuk lebih bersemangat lagi dalam thalabul ilmi, terkhusus di masa-masa yang penuh dengan ujian dan fitnah, di masa-masa menjelang berakhirnya dunia yang fana ini. Semakin berat ujian dan godaan. Nasalullah as–salamata wal afiyah. Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala memberikan kepada kita keistikamahan dalam thalabul ilmi serta keikhlasan dalam menuntutnya hingga ajal menjemput. Amiin Yaa Man Anta ala kulli syaiin qadir wabil ijabati jadir. Wabillahit taufiq, wa shallallahu ala nabiyyina Muhammad wa alihi wa shahbihi wa sallam.
  1. Զиፗеղил узатαчυταш
    1. Иձ φիфифαмቶ ζэքωማафክթ
    2. Ивр овሐ ρըጯ
    3. ትե щесоцωциጿ
  2. Ջከщու պኣቴуፐевсе
Abdullahbin Abbas selalu mencoba mendatangi sahabat Nabi untuk menanyakan segala sesuatu yang ingin diketahuinya, yaitu tentang ajaran Islam dan hal-hal yang berkenaan dengan Nabi Muhammad SAW. segala kesempatan digunakannya dengan cermat hanya untuk mendapatkan ilmu dari sahabat Nabi yang telah bersama Nabi lebih lama darinya.
Abdullah bin Abbas atau yang akrab disapa Ibnu Abbas adalah satu di antara sahabat Nabi Shalallahu alaihi wa sallam yang memilki kecerdasan serta keilmuan yang luas dalam memahami Islam. Hal itu ia peroleh lantaran kesehariannya yang selalu lekat dihiasi dengan pengabdiannya kepada Nabi Muhammad Shalallahu alaihi wa sallam. Kepadanya Nabi pernah berdoa “Ya Allah, berikan dia keahlian dalam agama-Mu, dan ajarilah ia tafsir kitab-Mu.” Hidup bersama Rasulullah benar-benar telah membentuk karakter dan sifatnya. Suatu ketika, benaknya dipenuhi rasa ingin tahu yang besar tentang bagaimana cara Rasulullah shalat. Malam itu, ia sengaja menginap di rumah bibinya, Maimunah binti Al-Harits, istri Rasulullah. Sepanjang malam ia berjaga, sampai terdengar olehnya Rasulullah bangun untuk menunaikan shalat. Ia segera mengambil air untuk bekal wudhu Rasulullah. Di tengah malam buta itu, betapa terkejutnya Rasulullah menemukan Abdullah bin Abbas masih terjaga dan menyediakan air wudhu untuknya. Demikianlah Ibnu Abbas yang sejak kecil selalu menaruh perhatian yang besar terhadap ilmu Islam yang diajarkan langsung oleh Rasulullah. Abdullah bin Abbas lahir tiga tahun sebelum Rasulullah hijrah. Saat Rasulullah wafat, ia masih sangat belia, berumur 13 tahun. Namun, kesungguhannya dalam menuntut ilmu mampu melampaui masa pada usianya. Karakter pribadinya yang sungguh-sungguh, tekun, dan cinta terhadap ilmu itu berdampak besar terhadap kehidupan Ibnu Abbas. Ia pun tumbuh menjadi sosok yang alim dan kerap menjadi rujukan dalam hal agama. Sepeninggal Rasulullah, girahnya terhadap ilmu tak menyurutkan semangat Ibnu Abbas untuk mendatangi para sahabat senior guna mendengar langsung hadis dari Nabi Shallallahu alihi wa sallam. Ia ketuk satu pintu dan berpindah ke pintu lain, dari rumah-rumah para sahabat Rasulullah. Tak jarang ia harus tidur di depan rumah mereka, karena para sahabat tengah istirahat. Namun betapa terkejutnya mereka begitu melihat Ibnu Abbas tidur di depan pintu rumah. “Wahai keponakan Rasulullah, kenapa tidak kami saja yang menemuimu?” kata para sahabat yang menemukan Ibnu Abbas di depan rumah mereka. “Tidak, akulah yang mesti mendatangi Anda,” jawabnya. Demikianlah kehidupan Abdullah bin Abbas, hingga kelak ia benar-benar menjadi seorang pemuda dengan ilmu dan pengetahuan yang tinggi. Karena tingginya dan tak berimbang dengan usianya, ada yang bertanya tentangnya. Abdullah bin Abbas bercerita, “Suatu saat Rasulullah ﷺ hendak berwudhu. Lalu aku segera menyiapkan air untuk Beliau sehingga Beliau senang dengan apa yang aku lakukan. Tatkala Beliau hendak melakukan shalat, Beliau memberikan isyarat kepadaku supaya aku berdiri di sampingnya, dan aku pun berdiri di belakang Beliau. “Begitu shalat usai, Beliau menoleh ke arahku dan bersabda “Mengapa engkau tidak berdiri di sampingku, ya Abdullah?” Aku menjawab “Engkau adalah manusia terhormat dalam pandanganku dan aku tidak pantas berdiri di sampingmu.” Kemudian Beliau mengangkat kedua tangannya ke arah langit seraya berdo’a “Ya Allah, berikanlah kepadanya hikmah!” Allah telah mengabulkan doa Nabi-Nya ﷺ sehingga Allah memberikan pemuda Al Hasyimi ini sebagian hikmah yang mengalahkan kehebatan para ahli hikmah terbesar. Pemuda bernama Abdullah bin Abbas ini telah menempuh semua jalan dan mengeluarkan segala kemampuannya untuk mendapatkan ilmu. Ia telah meminum air wahyu dari Rasulullah ﷺ selagi Beliau hidup. Begitu Rasulullah ﷺ kembali ke pangkuan Tuhannya, maka Ibnu Abbas belajar langsung dengan para ulama sahabat. Sebagaimana Abdullah bin Abbas menghinakan dirinya saat menuntut ilmu, ia juga tak ragu untuk memulyakan derajat ulama. Dikisahkan ketika Zaid bin Tsabit sang penulis wahyu dan pemuka Madinah dalam urusan qadha, fiqih, qira’at dan al faraidh hendak menunggangi kendaraannya, berdirilah pemuda Al Hasyimi bernama Abdullah bin Abbas dihadapannya seperti berdirinya seorang budak di hadapan tuannya. Ia memegang kendali tunggangan tuannya. Zaid berkata kepada Ibnu Abbas “Tidak usah kaulakukan itu, wahai sepupu Rasulullah!” Ibnu Abbas menjawab “Inilah yang diajarkan kepada kami untuk bersikap kepada para ulama!” Zaid lalu berkata “Perlihatkan tanganmu kepadaku!” Abdullah bin Abbas lalu menjulurkan tangannya. Lalu Zaid mendekati tangan tersebut dan menciuminya seraya berkata “Demikianlah, kami diperintahkan untuk bersikap kepada ahlu bait Nabi kami.” Abdullah bin Abbas telah menempuh perjalanan dalam menuntut ilmu yang dapat membuat unta jantan tercengang. Masruq bin Al Ajda’ salah seorang tabi’in ternama berkata tentang diri Ibnu Abbas “Jika aku melihat Ibnu Abbas, menurutku dia adalah manusia yang paling tampan. Jika ia berkata, maka menurutku ia adalah orang yang paling fasih. Jika ia berbicara, menurutku ia adalah orang yang paling alim.” [] Sumber Kisah Heroik 65 Orang Shahabat Rasulullah SAW/Penulis Dr. Abdurrahman Ra’fat al-Basya- Penerbit Darul Adab al-Islami/Penerjemah Bobby Herwibowo, Lc – PT. Kuwais International, Jl. Bambu Wulung No. 10, Bambu Apus Cipayung, Jakarta Timur 13890 – Telp. 84599981
2Kisah Ibnu Abbas, Si Penggila Ilmu Kisah perilaku semangat menuntut ilmu yang telah tercatat dalam beberapa tulisan adalah kisah Ibnu Abbas. Ia adalah saudara Nabi, anak paman Nabi Muhammad. Namun status itu tidak membuatnya merasa tinggi hati dalam menuntut ilmu.
Pentingnya Adab Imam Malik bin Anas adalah salah satu ulama terhebat yang pernah dimiliki oleh umat Islam. Buku karangannya berjudul al-Muwatta’ masih menjadi rujukan kita hingga hari ini. Beliau adalah guru dari Imam Syafi’i dan sahabat serta parner diskusi Imam Abu Hanifah. Semua kejeniusan Imam Malik tidak lepas dari peran ibunya. Ibu Imam Malik adlah seorang perempuan penyayang yang cerdas. Ibunya ingin agar Imam Malik tumbuh menjadi seorang ulama, maka ia mengirimnya untuk belajar di rumah seorang ulama besar bernama Rabi’ah bin Abdulrahman. Ibunya membelikannya pakaian terbaik, dan sebelum berangkat, ibunya berpesan ; “Pelajarilah adab Syaikh Rabi’ah sebelum belajar ilmu darinya” Adab memang sangat penting dalam menuntut ilmu, kini ada begitu banyak orang yang berilmu tinggi namun cacat adabnya. Ulama kita sangat memperhatikan hal itu. Betapa pentingnya adab juga terlihat dari kisah Abdurrahman bin al-Qasim, salah satu murid Imam Malik. Ia bercerita bahwa “Aku mengabdi kepada Imam Malik selama 20 tahun, dua tahun diantaranya untuk mempelajari ilmu dan 18 tahun untuk mempelajari adab. Seandainya saja aku bisa jadikan seluruh waktu tersebut untuk mempelajari adab” Ada banyak sekali kisah-kisah para ulama salaf yang bisa menjadi contoh bagi kita dalam menuntut ilmu. Beberapa dari kisah itu akan kita simak bersama. Di dalam menuntut ilmu setidaknya kita harus menjaga adab terhadap ilmu yang kita tuntut, terhadap guru, dan terhadap diri kita sendiri sebagai penuntut ilmu. Semua itu perlu diperhatikan, semoga Allah memudahkan kita dalam menuntut ilmu disebabkan oleh adab yang mulia. Sebagaimana Allah dulu memudahkan para ulama kita dalam mempelajari segala macam ilmu sehingga peradaban Islam menjadi peradaban ilmu yang paling maju di dunia. Ulama kita dahulu jauh lebih menghargai orang-orang yang beradab ketimbang berilmu tapi adabnya buruk. Ada sebuah kisah menarik dari Abu Yazid Al-Busthami, tokoh sufi terkemuka. Pada sautu hari ia bermaksud mengunjungi seorang laki laki yang dikatakan memiliki ilmu yang mendengar bahwa orang berilmu itu sedang ada di sebuah masjid. Abu Yazid pun menunggu orang tersebut di luar masjid. Tidak lama kemudian, orang yang ditunggu itu pun keluar. Namun belum semapt Yazid menemuinya, ia melihat orang tersebut meludah di dinding masjid. Menyaksikan hal itu, Al-Busthami pun pulang dan tidak jadi bertemu dengannya. Ia mengatakan “Tidak dapat dipercaya untuk menjaga rahasia Allah, orang yang tidak dapat memelihara adab syari’at.” Mensucikan Hati dari Ria dan Maksiat Hal penting yang harus diperhatikan oleh seorang penuntut ilmu adalah niat yang ihlas. Ia harus membersihkan hatinya dari semua keinginan lain dalam menuntut ilmu selain mencari ridha Allah. Ia juga harus membersihakn hatinya dari maksiat. Dikisahkan ketika Imam Syafi’i mendatangi Imam Malik dan membaca kitab al-Muwaththa kepadanya dengan hafalan yang membuatnya kagum dan kemudian Imam Syafi’i menyertainya terus, Imam Malik berkata kepadanya, “Wahai Muhammad, bertaqwalah kepada Allah dan jauhilah perbuatan maksiat, karena sesungguhnya engkau akan memiliki sesuatu yang sangat penting.” Namun demikian, ternyata sautu ketika Imam Syafi’i mengalami kesulitan dalam menghapal. Hal itu tidak biasanya, sebab ia terkenal sebagai jenius yang hapalannya luar biasa. Maka ia pun mengadu kepada gurunya yang bernama Waki’. Imam Syafi’i berkisah ; “Aku mengadukan buruknya hapalanku kepada Waki’ Maka ia berikan petunjuk kepadaku untuk meninggalkan maksiat. Dan memberitahukan kepadaku bahwa ilmu itu cahaya Dan cahaya Allah tak akan diberikan kepada yang melakukan maksiat” Jika kita mengalami kesulitan belajar, bisa saja itu adalah akibat dari adab yang buruk, yakni tidak menjaga hati dari ria atau maksiat. Tidak Suka Berfoya-foya Seorang penuntut ilmu harus menahan dirinya dari banyak bersenang senang, terutama makan dan tidur, juga menjadi syarat penting seorang yang sedang berjuang untuk mendapatkan ilmu. Itulah sebabnya, sejak dulu para ulama terkemuka disaat saat berburu ilmu senantiasa menjaga dirinya dari banyak makan. Diantaranya, sebagaimana yang dikemukakan Imam Syafi’i, “Aku tidak pernah kenyang sejak berusia 16 tahun, karena kenyang itu memberatkan badan, mengeraskan hati, menghilangkan kecerdasan, mendatangkan tidur, dan melemahkan dari ibadah.” Imam Abu Hatim Ar-Razi Rahimahullah juga bercerita “Kami berada di Mesir selama tujuh bulan dan tidak pernah merasakan kuah makanan” Semua itu sebab karena sibuk untuk belajar sehingga tidak ada waktu untuk memasak makanan yang berkuah. Siang hari mereka berkeliling ke para Masyaikh guru, sedangkan malah hari mereka gunakan untuk menulis dan mengoreksi catatan. Imam Abu Hatim melanjutkan ceritnya ; “Suatu hari, saya bersama seorang teman mendatangi salah seorang Syaikh. Dikabarkan kepada kami bahwa beliau sedang sakit. Kami pulang melewati sebuah pasar dan tertarik pada ikan yang sedang dijual. Kami sampai dirumah, ternyata waktu kajian untuk Syaikh yang lain sudah tiba. Maka kamipun segera pergi ke sana. Lebih dari tiga hari ikan tersebut belum sempat dimasak karena kesibukan menuntut ilmu, hingga hampir busuk. Kami memakannya mentah – mentah karena tidak punya waktu untuk menggorengnya. “Ilmu itu tidak akan bisa diraih dengan badan yang santai.” Tawadhu Ketika menuntut ilmu, kita tidak boleh neko-neko, harus rela bersikap sederhana dan rendah hati. Terutma kepada guru-guru kita. Didalam suatu riwayat disebutkan, Ibnu Abbas mengatakan, “Aku hina ketika menuntut ilmu lalu mulia ketika menjadi orang yang dituntut ilmunya.” Ibnu Abbas sering pergi ke rumah Ubay bin Ka’ab. Terkadang ia mendapati pintu rumah Ubay terbuka sehingga ia segera diizinkan masuk, dan terkadang pintunya tertutup sedangkan ia malu untuk mengetuknya. Maka ia berdiam saja sampai siang, tetap duduk di depan pintu rumah. Angin menerbangkan debu kearahnya sampai akhirnya ia menjadi tidak dapat dikenali karena banyaknya debu yang menempel ditubuhnya dan pakaiannya. Lalu Ubay keluar dan melihatnya dalam keadaan demikian. Hal itu membuatnya merasa tidak enak. “Mengapa engkau tidak meminta izin?” tanyanya. Ibnu Abbas beralasan malu kepadanya. Hal seperti ini juga kerap dilakukan oleh Imam Abu Hanifah ketika hendak berguru kepada Hammad bin Abu Sulaiman, salah satu gurunya. Ia selalu menunggu Hammad di depan pintunya, tanpa merasa malu atau risih. Padahal ia adalah seorang pedagang kaya di Kufah. Berbakti dan Hormat Kepada Guru Menghormati guru adalah hal yang sangat vital bagi penuntut ilmu. Ilmu tidak akan menghampiri mereka yang tidak berbakti dan hormat kepada gurunya. Banyak kisah yang mungkin akan membuat kita takjub dengan penghormatan para ulama terhadap para guru mereka. Imam Asy-Syafi’i misalnya, ia berkata, “Aku senantiasa membuka kertas kitab di hadapan Malik dengan lembut agar ia tidak mendengarnya, karena hormat kepada beliau.” Bahkan Ar-Rabi’, sahabat asy-Syafi’i sekaligus muridnya, mengatakan, “Aku tidak berani minum air sedangkan Asy-Syafi’i melihatku, karena menghormatinya.” Lain lagi kisah Imam An-Nawawi, suatu hari ia dipanggil oleh gurunya, Al-Kamal Al-Irbili, untuk makan bersamanya. Maka ia mengatakan, “Wahai Tuanku, maafkan aku. Aku tidak dapat memenuhinya, karena aku mempunyai uzur syar’i.” Dan ia pun meninggalkannya. Kemudian seorang kawannya bertanya kepadanya, Uzur apa itu?’ Ia menjawab, Aku takut bila guruku lebih dahulu memandang suatu suapan tetapi aku yang memakannya sedangkan aku tidak menyadarinya.’ Para ulama kita memang sangat menghormati orang yang lebih berilmu dan dianggapnya sebagai guru. Pada suatu hari seorang kerabat Sufyan ats-Tsauri wafat, dan orang orang berkumpul menemuinya untuk berta’ziyah. Lalu datanglah Abu Hanifah. Maka bangkitlah Sufyan kearahnya, memeluknya, mendudukkan di tempatnya, dan ia duduk dihadapannya. Ketika orang orang telah bubar, para sahabat Sufyan mengatakan, “Kami melihatmu melakukan sesuatu yang mengherankan.” Sufyan menjawab, “Orang ini adalah orang yang memiliki kedudukan dalam ilmu. Seandainya aku tidak bangkit berdiri karena ilmunya, aku tetap akan berdiri karena usianya. Sendainya aku tidak berdiri karena usianya, aku tetap akan berdiri karena kefaqihannya. Dan seandainya aku tidak berdiri karena kefaqihannya, aku akan tetap berdiri karena sifat wara’nya.” Selain bersikap hormat, ada banyak sekali bakti lain yang bisa kita lakukan sebagai penuntut ilmu kepada guru-guru kita. Misalnya mendoakannya. Abu Yusuf, murid Abu Hanifah sangat mencintai gurunya itu, “Sesungguhnya aku mendoakan Abu Hanifah sebelum mendoakan ayahku, dan aku pernah mendengar Abu Hanifah mengatakan, Sesungguhnya aku mendoakan Hammad bersama kedua orang tuaku’.”
Kisahkegigihannya mencari ilmu adalah sejarah kesedihan dan
1. Jabir bin Abdullah2. Syekh Ibrahim Al Misr3. Imam As Sarkhawi4. Ali bin al-Hasan bin Syaqiq5. Abdurahman bin Qasim al-Utaqa al-Mishr, sahabat Malik dan Laits SAHABAT mulia Islapos, muslim dituntut untuk senantiasa menimba ilmu, sebagaimana ulama-ulama terdahulu. Mereka gigih menuntut ilmu. Siapa dan bagaimana para ulama tersebut menuntut ilmu? Lantas, apa keutamaan menuntut ilmu hingga kedudukannya begitu penting dalam Islam? Para ulama enggan menyia-nyiakan waktu hidupnya sedikitpun. Mereka gigih dalam menuntut ilmu kendatipun harus menempuh perjalanan yang jauh. Berikut beberapa ulama tersebut 1 Jabir bin Abdullah Jabir bin Abdullah sangat tertarik dengan sebuah hadis yang menggambarkan suasana Padang Mahsyar. Ahli hadis terkemuka pada abad ke-1 H itu pun mencoba menelusuri kebenaran sabda Nabi SAW itu. Sayangnya, orang yang meriwayatkan hadis itu telah hijrah dan menetap di Syam kini Suriah. Padahal, Jabir menetap di Hijaz, sekarang masuk wilayah Arab Saudi. Periwayat hadis itu tak patah semangat. Jarak antara Hijaz dan Syam yang begitu jauh, tak menciutkan tekadnya untuk menelisik kebenaran hadis itu. Jabir lalu membeli sebuah unta. Ia pun mengarungi ganasnya padang pasir demi mencapai Syam. Perjalanan menuju kota itu tak cukup sepekan. Ia menghabiskan waktu selama satu bulan untuk bertemu sahabat Nabi SAW yang meriwayatkan hadis yang ingin diketahuinya. 2 Syekh Ibrahim Al Misr Syekh Ibrahim Al Misr tetap menuntut ilmu kendatipun harus menempuh perjalanan dari Mesir ke Madinah untuk mengaji kepada Imam Malik hingga 18 tahun. 3 Imam As Sarkhawi Imam As Sarkhawi selalu mengikuti kemanapun gurunya yakni Ibnu Hajar al Asqalani. Dia tak mau terlewatkan satu pun fadilah ilmu yang disampaikan gurunya itu. 4 Ali bin al-Hasan bin Syaqiq Ali sering kali tak tidur di malam hari. Pernah suatu ketika, gurunya, Abdullah bin al-Mubarok, mengajaknya ber- muzakarahketika malam di pintu masjid. Padahal, saat itu cuacanya sangat tidak bersahabat. Udara dingin menusuk tulang. Ia bersama sang guru berdiskusi sampai waktu fajar tiba, tepat saat muazin mengumandangkan azan. 5 Abdurahman bin Qasim al-Utaqa al-Mishr, sahabat Malik dan Laits Demi menemukan persoalan dan hendak mencari jawabannya dari Malik bin Anas, Abdurahman bin Qasim kerap mendatangi Malik tiap waktu sahur tiba agar tak kecolongan, Ibnu al-Qasim tiba sebelum waktu sahur. Tak jarang Ibnu al-Qasim membawa bantal dan tidur di depan rumah Malik. BACA JUGA Syaikh Ahmad Izzah Al-Andalusy, Kisah Algojo yang Jadi Ulama Besar Masih banyak lagi contoh kesungguhan para ulama dalam menuntut ilmu. Lebih lanjut, dalam riwayat lain Rasulullah SAW mengatakan, umat akan terus tegak dalam menjalankan perintah Allah SWT. Tidak akan ada yang bisa memberikan kemudaratan pada mereka sampai hari kiamat. Ada beragam penjelasan ulama dalam memaknai umat. Sebagian ulama ada yang menyebut adalah mereka yang berpegang teguh kepada sunnah ajaran Nabi Muhammad SAW. Sementara itu, Imam Bukhari berpendapat yang dimaksud adalah ahli ilmu. Sedangkan menurut Imam Ahmad kata umat dalam hadits tersebut adalah ahli hadits. Namun, kebanyakan ulama sependapat dengan Imam Nawawi yang mengatakan bahwa yang dimaksud umat disitu adalah orang-orang mukmin baik itu ahli hadits, ahli fiqih, ahli jihad, ahli zuhud, dan dalam bidang lainnya yang menyebar keberadaannya di tengah orang-orang mukmin lainnya. Menurut habib Abubakar, orang-orang yang duduk di majelis ilmu telah mendapatkan taufik dari Allah SWT. Artinya Allah SWT menghendaki kebaikan pada orang-orang yang duduk di majelis ilmu sehingga mudah masuk ke dalam surga. Sementara itu Habib Abubakar mengatakan dalam riwayat lain terdapat hadits yang menerangkan bahwa barangsiapa yang Allah SWT kehendaki mendapatkan kebaikan maka orang itu akan mendapatkan diberikan pemahaman oleh Allah SWT untuk mengerti tentang ilmu agama. Habib Abubakar mengatakan kebaikan yang dikehendaki Allah SWT pada orang-orang yang mau menuntut ilmu adalah segala macam kebaikan baik itu kebaikan dunia dan akhirat. Maka orang yang memahami ilmu agama tanda dikehendaki Allah SWT untuk mencapai husnul khatimah. Oleh karena itu dalam riwayat tersebut ditegaskan juga bahwa ilmu itu diperoleh dengan proses belajar atau upaya terus menerus dalam thalabul ilmi. “Tidak bisa orang dapat ilmu dengan duduk saja, tirakat saja, kemudian nunggu ilmu laduni. Untuk dapat ilmu laduni itu harus belajar dulu. Giat belajar, ngaji nanti diberkan futuh, dibukakan Allah SWT baru diberikan ilmu laduni,” jelas Habib Abubakar Assegaf dalam pengajian rutin di Masjid Agung Al Anwar Kota Pasuruan yang juga disiarkan Sunsal TV media resmi Pondok Pesantren Sunniyah Salafiyah yang dipimpin Habib Taufiq bin Abdul Qodir Assegaf. Dalam riwayat lainnya, Habib Abubakar menjelaskan bahwa duduknya seorang hamba di majelis ilmu lebih baik dibanding melaksanakan ibadah sunnah selama enam puluh tahun. Ini menunjukan besarnya keutamaan menuntut ilmu hingga bobot pahalanya lebih besar dari menjalankan ibadah sunah berpuluh-puluh tahun. [] SUMBER REPUBLIKA
9fivD.
  • vo244v5rq0.pages.dev/177
  • vo244v5rq0.pages.dev/215
  • vo244v5rq0.pages.dev/204
  • vo244v5rq0.pages.dev/158
  • vo244v5rq0.pages.dev/60
  • vo244v5rq0.pages.dev/171
  • vo244v5rq0.pages.dev/498
  • vo244v5rq0.pages.dev/456
  • kisah para sahabat dalam menuntut ilmu